Posts

Showing posts from 2019

Why I Write: On Scholarship Journey

Image
Why I Write is a poem by Lang Leav posted on her Instagram.  I read it because my friends repost it on her instastory, the words strike me. And why I write is the same question that motivates me to write more on my blog recently.  But first, I want to say something.  Have I told you that searching a scholarship is a tiring journey? I don't know about you, but honestly for me, constantly being checked about my past, my present and my future aspirations make me feels like I was on a brain scan procedure. I was under an assessment, whether I am the candidate they search, or not.  I don't know about you. But I don't think in a normal circumstance people will question that much about their life. The evaluation usually comes at the end of the year, trying to digest what you achieved and whatnot, to start planning for your next year's goals. But when applying to the scholarship, you might have come with some basic idea about y

On Minimalism: Takeaway from Fumio Sasaki's Book

Image
This past few months has been a pleasurable reading time for me. I borrowed import books from Bookabuku, I read in the library and I slide through many eBooks in between. I read many interesting topic, mostly around personal development, career advice, personal finance and public health (or development). But, this book called "Goodbye Things" is my number one reading. It is so profound, it change the way I look upon everything around me.  I already see this book many times in Periplus or Kinokuniya (and later Gramed because the translated version already published), yet I was not interested to read this because it feels like "Ok, well, another book by another Japanese trying to spread the joy of tidying to the rest of the world." I think of it as another Marie Kondo wave. Don't get me wrong, I like Marie's idea of Spark Joy. I read her book, I watch her Netflix. But for me, it is just a method of tidying. And, as a quite messy person, I took jus

Hari-H Tes GRE: What to expect?

Image
Hai! Kemarin, 4 Oktober 2019, gw akhirnya tes GRE di IIEF. Lokasinya ada di Lantai 28 Menara Imperium, Kuningan, Jakarta. Kayaknya tes GRE emang se-Indonesia cuman bisa disini aja. Tes dijadwalkan jam 08.00 tapi sejam sebelumnya gw udah nyampe dan pintunya masih di kunci, wkwk :'') tapi gapapalah daripada telat. Sekitar jam setengah 8, ruangannya akhirnya dibuka.                             Pertama, gw diminta isi kode institusi yang mau dikirimin nilai GREnya di form. Ohiya, kita dapet jatah gratis ngirim ke 4 kampus saat hari tes. Kalau dikirimnya sesudah tes, ETS akan ngecharge kita  US$27 atau sekitar 380 ribu per kampusnya. Yha jadi kumaksimalkan saja tujuan 4 kampus itu meskipun gak tau bakalan jadi daftar semuanya apa enggak hahaha.  Sesudah itu, panitia tes akan meminta kita menyerahkan kartu identitas (KTP/SIM/Paspor) untuk diverifikasi dan satu-satu akan dipanggil untuk security check. Pagi itu hanya ada sekitar 4 orang yang ikut tes. Gw dipanggil uru

Pengalaman Ikut Les GRE Gratis di @America

Image
Hai! Kemarin gw baru saja mengikuti tes GRE. Jujur gak nyangka bakalan ngambil tes ini sebelumnya. GRE atau Graduate Record Examination itu semacam tes kemampuan dasar (numeric, verbal & analytical writing) yang jadi syarat  banyak jurusan S2 di Amerika. Mirip-mirip TPA lah kalau di Indo.  Dulu, kalau ditanya mau kuliah S2 dimana, pasti gw mencoret Amerika dari list. Alasannya? ribet, mesti pake GRE segala. Sementara dulu mikirin tes IELTS aja udah pusing. Belom minta surat rekomendasi dan segala per-esai-an. Fix GRE mah urutan terakhir. Tapi, pandangan itu berubah ketika gw akhirnya ikut kelas persiapan GRE di @america. Setiap tahunnya, sekitar bulan Juni, @america memang mengadakan kelas persiapan gratis GRE dan TOEFL IBT. Tujuannya, buat mempersiapkan anak-anak yang pengen nyoba S2 ke US. Kelas GRE @america terdiri dari 8 sesi. Gw mencatat ada 4 sesi kuantitatif dan 4 sesi verbal. Kelasnya tiap hari Sabtu jam 10.30-13.00 di @america, Pacific Place. Nah dari awal

Step by Step & Biaya Surat Sehat LPDP 2019 (RSUD Budhi Asih)

Image
Minggu ini gw lagi bolak-balik ke RS untuk mengurus surat sehat buat sebagai salah satu persyaratan mendaftar LPDP. Sebenernya, tahun 2018 lalu gw udah sempet mengurus surat sehat di RSUD Budhi Asih. Gw memilih RS tersebut karena gak terlalu mahal dan RSnya udah familiar sama prosedur tes kesehatan untuk LPDP. Selain itu, karena domisili gw di Tebet, jadinya RS ini lumayan terjangkau jaraknya. Kesan gw terhadap pelayanan di RS ini lumayan bagus pokoknya. Tapi, karena satu dan lain hal, gw gak jadi daftar LPDP tahun lalu dan surat sehatnya gak kepake deh, sayang juga sebenernya (Anggep aja buat MCU tahunan yak wkwk).  Untuk pendaftar tujuan Luar Negeri, ada tiga surat yang harus disubmit: surat sehat, bebas narkoba dan bebas TBC. Tahun lalu di RSUD Budhi Asih gw abis sekitar 395 K, dengan rincian sebagai berikut:  Pendaftaran                    : 15K  Admin                             : 10K Surat Ket Bebas Narkoba  : 20K Surat Ket Sehat               : 20 K  Tes Lab BTA 2X (TBC

Approved! A line we ought to see

Selama bekerja di kantor,  entah udah berapa kali gw mendengar kata-kata Approved.  Ia jadi semacam password yang harus diisi sebelum pekerjaan bisa dilakukan. Jika belum di approved, you do it on your own risk. Kalau mau cari aman dan selamat, carilah approval itu.  Meskipun kadang permintaan approval hanya memperlambat proses dan tidak praktis, namun untuk urusan pekerjaan ini masih hal yang wajar dan bearable. Sayangnya, seeking for approval tidak hanya terjadi di kantor, dalam hidup pun terkadang kita meminta persetujuan orang lain. Sadar atau tidak. Memang bentuknya tidak terang-terangan, tapi hidup yang 'normal' dan 'wajar' sesuai norma yang berlaku di masyarakat seringkali menjadi approval yang menentukan arah hidup seseorang. Misalnya, seseorang yang sudah lulus kuliah ya harus bekerja. Umur segini udah seharusnya mulai memikirkan masa depan (re: mencari pasangan hidup dan menikah). Sesudah nikah ya sewajarnya punya anak, dst dsb. I did not against the no

#30HariBercerita Hari Kelima

Halo,  Sudah tanggal 6 Januari, sudah tidak menulis empat hari.  Rupanya cukup sulit untuk konsisten menulis di blog. Di instagram sendiri sudah sangat ramai dengan postingan 30HBC. Tapi benar-benar berbeda rasanya tahun ini. Tahun ini 30 Hari Bercerita bagiku semacam menulis untuk diri sendiri, begitupun tulisan orang lain hanya seperti berbicara dengan diri mereka sendiri. Jadi, yasudah tanpa tendensi.  Akhir-akhir ini, rasanya aku mengantuk sekali. Cannot work functionally without coffee, even after. Entah harus minum berapa galon kopi setiap harinya. Apa yang salah ya? Apa aku anemia juga? Tidur tidak kurang dari tujuh jam per hari. Tapi, mengantuk terus. Aneh.  Gigiku sedang sakit. Punggung juga sakit. Hah mengeluh semua isinya post ini.  Ya sudah, tidak apa-apa. Terima dulu ya.  Rasa tidak nyaman itu manusiawi kok. Tidak perlu buru-buru dibasmi (sepertinya).

#30HariBercerita Awal Cerita

Tahun ini, seperti dua tahun sebelumnya aku memutuskan untuk ikut #30haribercerita. Tapi barangkali tahun ini sedikit lebih senyap dibanding tahun sebelumnya. Aku ingin menulis, yang panjang. Salah satunya itu, lainnya karena sebenarnya aku hanya ingin menulis saja tahun ini. Bukan karena menginginkan respons orang lain, bukan karena likes, comment dan juga repost oleh admin #30HBC. Tapi karena aku kangen menulis yang, menulis saja. Tanpa intensi yang berat untuk memukau.   Lagipula, semakin hari aku semakin merasa IG bukan tempat yang nyaman. Terlalu penuh dan banjir. Ia bukan ruang sunyi dan ruang cerita yang aku butuhkan. Ia serupa, galeri? Untuk menunjukkan siapa kita, apa yang kita pikirkan, apa yang kita lakukan. Tapi aku juga masih tidak kapok dengan #30HBC. Meskipun tahun sebelumnya aku merapel 11 hari, pada akhirnya selesai juga. Kupikir, setiap tahunnya ketika menulis selama 30 hari ini, aku tidak pernah ada di tempat yang benar-benar sama. Tahun pertama