Kisah Kereta Ekonomi #1

post ini sebetulnya terinspirasi dari blog kakak kelas saya di FKM tentang kereta ekonomi. Melihat kisah dia tentang kereta ekonomi ini, saya pun ingin berbagi kisah :) sebuah pendapat, sebuah pandangan sekaligus sebuah rekaman peristiwa yang mungkin tidak berarti apa-apa saat ini, tapi akan menjadi pengingat dua atau tiga tahun lagi.
----
P1010730
image from kamera hani

Sebagai pelaku migrasi ulak-alik alias commuter, kereta api seperti menyatu dengan kehidupan saya saat ini. Jarak jakarta-depok terefisien ya menggunakan kereta api. Masih nekat mau naik mobil? silahkan ditanggung macetnya! naik kendaraan umum lain pun tidak bisa. terlalu lama, macet dan dari segi harga pun tidak begitu jauh daripada naik kereta ekonomi. 

Di Indonesia, kereta api adalah monopoli dari PT KAI. Menurut salah satu artikel di media kampus, praktek monopoli untuk kereta api memang lebih tepat, karena kereta api adalah usaha dengan modal yang besar (pembelian gerbong kereta, gaji petugas, jalur rel). Tapi monopoli ini seperti mempunyai dua mata sisi. Di sisi positif, PT KAI sebagai pengusaha tunggal perkeretaapian di jabodetabek dapat fokus dalam melakukan perbaikan dan memudahkan pengontrolan, tapi di sisi lain, praktik ini seringkali menimbulkan keputusan yang diperdebatkan publik. Kenaikan harga tiket kereta sebesar dua ribu rupiah, penghapusan sistem kartu prabayar commet di awal bulan desember hingga (yang sedang hangat saat ini) usaha penertiban kios-kios di sekitar stasiun kereta api. 

sebagai konsumen, sehari-hari saya lebih sering menggunakan kereta AC daripada ekonomi. alasan pertama: kenyamanan dan keamanan, alasan kedua: jumlah kereta ekonomi yang sangat sedikit. 

Untuk alasan yang pertama, ada pengalaman yang cukup membuat saya trauma naik kereta ekonomi. saat itu, saya sedang menaiki kereta ekonomi untuk pulang ke jakarta. Karena hari sudah malam, prioritas saya adalah ingin cepat sampai rumah sehingga saya langsung naik ke kereta ekonomi (yang sudah tiba di st. pocin). Awalnya fine-fine saja. memang kereta dalam kondisi penuh, tapi tidak sesak. Di keheningan gerbong kereta, tiba-tiba ada dua anak pemulung bersama ibunya di gerbong tersebut. Keadaan masih normal hingga salah satu anak itu (maaf) pup di celana dan pupnya jatuh begitu saja ke lantai gerbong. saya yang berdiri dekat anak itu seketika langsung mual. Sialnya lagi, kereta ekonomi itu berjalan sangaaat lambat. Angin yang biasanya menusuk melalui jendela dan pintu kereta ekonomi malam itu seolah enggan untuk berhembus. udara panas ditambah kondisi yang cukup menjijikkan itu membuat saya turun di st.tanjung barat untuk menyambung kereta AC menuju st.cawang

Alasan yang kedua adalah jumlah kereta ekonomi yang semakin sedikit. sebagai ilustrasi, dari total 16 kereta yang tiba di stasiun cawang sebelum jam 8 pagi (jam kuliah pertama) hanya ada 4 kereta ekonomi. Jadi, dilihat dari segi waktu, penggunaan kereta jenis ekonomi tidak bisa se-fleksibel kereta AC. orang-orang yang ingin naik kereta ekonomi biasanya sudah hafal jamnya dan mencocokkan jadwal pergi dan pulang mereka sesuai jadwal kereta ekonomi.  

dengan dua alasan diatas, jadilah saya seorang pengguna kereta AC yang setia. selama beberapa hari, saya enggan sekali naik kereta ekonomi. apalagi setelah kejadian menjijikkan itu. trauma, takut. Tapi sebuah tugas lapangan mata kuliah sosiologi kesehatan 'memaksa' saya untuk kembali menggunakan kereta ekonomi. cerita tentang tugas lapangan ini akan saya tulis di post selanjutnya :) 

Comments

Popular posts from this blog

Memilih Kereta Api Ke Malang

Step by Step & Biaya Surat Sehat LPDP 2019 (RSUD Budhi Asih)

Pengalaman IELTS Computer Based di IALF Jakarta saat Pandemi Covid-19 (Februari 2021)