Nomophobia Inside Us


Ketakutan terbesar manusia zaman sekarang adalah bepergian tanpa membawa handphone atau tidak punya pulsa atau baterainya habis. Setuju tidak? setidaknya itu yang terjadi pada saya. Panik, takut, cemas dan segala macam perasaan campur aduk, apalagi kita sedang berada di lokasi yang asing dan waktu sudah larut malam. Ada beberapa kejadian heboh dan lucu tentang saya dan hp

Kejadian pertama ketika saya hendak pulang kampus dengan menaiki krl ekonomi. Saat itu saya sedang berpuasa dan waktu menunjukkan pukul 5 sore. saya pikir sempatlah untuk tiba di stasiun tebet sebelum magrib. Keanehan mulai terjadi ketika kereta ini berhenti di stasiun ui cukup lama sekitar 10 menit. Dari speaker stasiun, saya mengetahui bahwa ada gangguan sinyal di manggarai dan penumpang dihimbau untuk mengambil kendaraan lain. Oke, saya turun dari kereta. Kemudian saya baru menyadari bahwa saya tidak punya duit! Duit saya di dompet tinggal seribu perak *jedotin kepala ke tembok* alhasil, saya naik bikun sampai halte fkm dan jalan ke detos untuk narik uang di ATM BCA. Kepanikan datang lagi karena hingga jam 7 malam, gangguan sinyal masih terjadi. BB mati sedangkan Esia gak ada pulsa *miris* Tiba-tiba aja, mama nelfon ke hp esia. dalam hati saya berpikir mungkin inilah yang dinamakan ikatan batin antara ibu dan anak :'') soalnya waktu itu saya gak hafal nomor hp esia, jadi mau ngisi pulsa juga gak bisa *miris kuadrat* Nah setelah mama nelfon dan esia sudah berpulsa, masalah menjadi lebih gampang. saya akhirnya pulang dengan angkot dan bis.


Kejadian selanjutnya adalah sewaktu saya mau ke rumah Hani karena SGD mau nginep dan jalan-jalan bareng. Saya berangkat jam 5 karena rombongan depok baru akan ke rumah Hani setelah magrib. Dari rumah saya jalan ke depan pasar tebet menunggu kopaja 68 yang tujuan akhirnya ke kp. melayu. Dari halte busway kp.melayu Hani bilang turun di halte Harbun atau Harapan Bunda. Dengan logika polos bahwa Hani naik kereta dan turun di st Lenteng Agung, saya menyimpulkan bahwa rumah Hani di daerah JKT Selatan. Maka paniklah saya menyadari plang-plang toko yang mencantumkan "jakarta timur" di alamatnya. Baterai BB kuning, HP Esia sudah lebih dulu mati. "Walah gawat!" pikir saya waktu itu. Hari sudah gelap, daerah yang dilewati busway ini pun semakin tidak saya kenali. Dengan sisa-sisa baterai terakhir saya menanyakan Hani detail lokasi rumahnya. Untungnya, sebelum BB itu benar-benar mati saya hafal nomor rumah Hani: 74. Tau gak cara ngapalinnya gimana? Kalau abang-abang angkot biasanya teriak "empat enam empat enam" (jumlah penumpang maksimal di kursi angkot) maka nomor rumahnya Hani itu dibalik dan tambah satu *tepuk tangan untuk Oliv yang cerdas* 

Turun dari harbun, Hani bilang belok kiri dan cari kantor pos. lah saya malah belok kanan menuju jembatan layang -_-" setelah menyadari kedodolan itu, yaudah brb balik arah. Saya sempat berenti di beberapa mini market di jalan dan di rumah sakit, herannya pada gak tau kantor pos itu sebelah mana. Akhirnya saya nekat aja jalan terus. Kantor posnya ketemu! tinggal nyari rumah nomor 74. Saya masuk ke gang samping kantor pos dan seketika parno karena jalannya sempit dan gelap banget. ragu, saya memutuskan untuk kembali ke jalan raya. Untungnya ada ibu-ibu baik hati yang lagi duduk di emperan toko. Si Ibu nanya "mau kemana neng?" "Ini bu mau ke rumah temen. Ibu tau gak rumah nomor 74 sebelah mana?" "oh itu mah lurus aja neng. entar kalau ketemu warung tanya lagi ke situ" Yowis akhirnya gw beranikan diri jalan lagi. Hani bilang kalau rumahnya pagar cokelat sebelum belokan jalan. eeeh gw malah kelewat. Nanya lagi deh ke ibu-ibu yang lagi main sama anaknya di teras rumah "Permisi bu, numpang nanya, kalau rumah nomor 74 dimana ya bu? rumahnya Ibu Susi yang sering ngadain pengajian hari rabu" dan itulah cara saya memspesifikkan deskripsi rumahnya Hani alias rumah-ibu-susi-yang-sering-mengadakan-pengajian-di-hari-rabu. Untung sering sekelas sama Hani hahaha. akhirnya saya menemukan rumah Hani dengan perasaan lega sekaligus so-much-win! hahaha

Kejadian terakhir dengan HP adalah dua hari yang lalu saat menemani Papa belanja ke asemka. Niat awalnya untuk ikut adalah ingin mencari wall sticker dengan harga yang murah. Kami sampai di pasar asemka sekitar pukul 10. Perjanjiannya papa membeli barang dagangan sementara saya mencari wall sticker. Papa hanya bilang bahwa meeting point di belakang toko "Hidup Baru". dan dodolnya, saya lupa menanyakan waktu janjiannya itu. Baterai BB udah merah dan gak bawa hp esia. Saya berkeliling dari satu lorong ke lorong lain di asemka. wah untuk orang yang belum terbiasa, pusing banget keliling asemka. Pasarnya lumayan besar, jumlah tokonya sangat banyak, lorongnya sempit dan pengunjungnya membludak. lengkaplah sudah! apalagi, pengunjung pasar asemka adalah pedagang. ritme kehidupan dan perputaran duit di sana sangatlah cepat. Orang-orang berjalan sangat sigap dengan kantong plastik hitam besar di tangannya. Wah makin payah untuk orang lelet macam saya ini. Setelah mengelilingi toko-toko di lantai 1 dan 2 saya mendapatkan kenyataan bahwa bukan disinilah tempat penjualan wall sticker. saya selesai berkeliling kira-kira pukul 10.35 dan memutuskan untuk kembali ke toko Hidup Baru. seingat saya, Papa ingin balik jam 1 siang. Papa juga janji untuk makan siang di restoran mpek-mpek di depan pasar serta membelikan dinda hadiah ulangtahun. Dengan asumsi seperti itu, selama-lamanya Papa saya selesai belanja pukul 12.00 which means masih lama banget. dan berhubung itu pasar, bukan mall, tidak ada tempat duduk yang disediakan di pasar tersebut. HP mati pula, wah benar-benar mati gaya total! Akhirnya saya memutuskan untuk berkeliling di daerah sekitar pasar. Untunglah Papa selesai berbelanja pukul 11.00. 

Dari tiga cerita diatas, keliatan kan urgensi dari HP dalam keseharian saya? dan saya yakin ada lebih banyak lagi orang yang melihat HP sebagai kesatuan dari hidupnya, organ baru di tubuhnya yang harus ia bawa kemana-mana. Dan saat saya googling, ada loh jenis fobia/ketakutan jika tidak ada ponsel yang dinamakan nomophobia. Benar-benar jenis fobia orang modern *geleng-geleng kepala*

Comments

Popular posts from this blog

Memilih Kereta Api Ke Malang

Step by Step & Biaya Surat Sehat LPDP 2019 (RSUD Budhi Asih)

Pengalaman IELTS Computer Based di IALF Jakarta saat Pandemi Covid-19 (Februari 2021)